Kenapa
si fulan yang IQ-nya 160 kok karirnya biasa-biasa saja dibandingkan si fulanah
yang IQ-nya rata-rata namun bisa bekerja di luar negeri dengan gaji sangat
besar?
Kenapa
si A yang lulusan universitas di luar negeri dengan predikat summa cum laude
hanya jadi bawahan di sebuah perusahaan sementara si B yang tak tamat SD bisa
jadi pengusaha besar?
Kenapa
Joko yang dikenal anak cerdas sejak kecil selalu kawin cerai dengan
istri-istrinya sementara Tono, rekan sekolahnya dulu, yang otaknya
sedang-sedang saja justru kehidupan rumah tangganya lebih langgeng dan
harmonis?
Demikian
banyak daftar kegagalan orang pintar dalam hidup yang terasa mengherankan,
semata-mata jika dipandang dari paradigma IQ (Intelligence Quotient). Anda pun
bisa menambah panjang daftar tersebut dengan pengalaman orang-orang di sekitar
Anda atau bahkan pengalaman pribadi Anda sendiri.
Terkait
dengan hal itu, Daniel Goleman dalam buku Emotional Intelligence—yang populer
karena mengenalkan konsep Emotional Quotient (EQ)—mengungkapkan bahwa manusia
memiliki dua otak dalam satu tempurung kepalanya. Satu otak berpikir yang lazim
dikenal sebagai otak kiri, dan yang satu otak merasa atau otak kanan. Otak kiri
cenderung bersikap objektif, rasional, presisi, numerikal,analitis,
linier,konvergen dan logis. Sementara otak kanan cenderung sarat hal-hal
eksperimental, divergen, non-analitis, subjektif, non-verbal, intuitif,
holistik dan reseptif.
Dua
otak ini harus bekerja selaras. Otak kanan yang memuat emosi memberi masukan
dan informasi kepada proses berpikir rasional pada otak kiri. Sementara otak
kiri memperbaiki dan terkadang menyetop masukan emosi tersebut. Jika otak kanan
terlalu dominan, kita akan sering bertindak gegabah dan mengambil keputusan
yang sembrono. Namun jika otak kiri terlalu dominan, kita cenderung hanya jadi
pengamat dan terus menganalisis alias omong doang (omdo)–atau justru bertindak
atau berucap tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain.
Goleman
juga mengintrodusir lima wilayah EQ atau kecerdasan emosi yakni: mengenali
emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang
lain, dan membina hubungan. Inilah modal kecakapan bisnis yang menurut Purdi
Chandra—boss pendiri jaringan Primagama Group—jika kita mampu mengelolanya maka
bisnis apapun akan lebih berpeluang berjalan mulus. Rasanya beralasan karena,
dalam neurologi, perasaan atau emosi biasanya sangat dibutuhkan untuk keputusan
rasional. Otak emosional atau otak kanan akan menunjukkan pada arah yang tepat.
Maka pengelolaan emosi adalah hal vital dalam kehidupan.
Patricia
Patton, seorang pakar manajemen, menyatakan bahwa untuk mengelola emosi, kita
dapat melakukannya dengan cara belajar, yakni: Pertama, belajar
mengidentifikasi apa yang biasanya dapat memicu emosi kita dan respons apa yang
biasa kita berikan. Kedua, belajar dari kesalahan, belajar membedakan segala
hal di sekitar kita yang dapat berpengaruh atau tidak berpengaruh pada diri
kita. Ketiga, belajar selalu bertanggung jawab terhadap setiap tindakan kita.
Keempat, belajar mencari kebenaran, belajar memanfaatkan waktu secara maksimal
untuk menyelesaikan masalah. Kelima, belajar menggunakan kekuatan sekaligus
kerendahan hati.
Ya,
pengendalian emosi atau EQ adalah salah satu kunci jawaban kenapa banyak orang
pintar atau unggul dalam IQ banyak yang gagal dalam hidup dan bisnis atau
minimal tidak seberhasil rekan-rekannya yang relatif ber-IQ lebih rendah atau
biasa-biasa saja. Dalam teori-teori psikologi kontemporer bahkan teori EQ terus
diperkaya dengan tambahan ranah SQ (Spiritual Quotient) dll.
Font-nya kurang enak dibaca mas..
BalasHapus